Monday, December 29, 2008

Mencari Air Mata untuk Palestina

--tidak pernah ada alasan untuk mengumbar kisah pribadi kecuali untuk diambil hikmahnya. Karena ini hanyalah sekedar perjalanan seorang manusia-

Ketika saya mendapat 5 SMS mengenai aksi Solidaritas untuk Palestina (28/12), anehnya tidak ada perasaan mendalam terhadap itu semua. Tidak ada kegeraman untuk Israel, tidak ada rasa empati untuk Palestina. Semua berlangsung datar dalam hati saya. hingga akhirnya ketika pukul 16.30 WIB saya mendapat telepon dari Rico Candra (Ketum KAMMI UIN 08/09) dan saya ditugaskan untuk menghubungi wartawan agar meliput aksi di kampus kami besok pagi pada pukul 08.00 WIB. Ya, memang sebelum berkumpul di Bunderan HI pada pukul 10.00 WIB kami biasa mengadakan aksi terlebih dahulu di kampus. Seketika itu rasa tanggung jawab langsung timbul, meski sebelumnya sempat mengemukakan banyak alasan agar saya terbebas dari tugas tersebut. Namun tidak, hati baik saya mesih memompa niat-niat baik untuk membantu. Akhirnya saya coba membantu ala kadarnya, meski keesokan harinya ketika aksi dimulai di Kampus, saya tidak datang dan malah langsung menuju Bunderan HI, sebab saya memang berangkat dari rumah yang jaraknya cukup jauh dengan kampus.

Malam hari sebelum hari H aksi, saya masih mencoba mengumpulkan semangat itu. semangat untuk mendukung saudara-saudara seperjuangan di bumi Kan’an sana. Saya coba putar lagu-lagu haroki bertema Palestina. Saya coba mengutak-atik perasaan saya. namun rasa tangis itu belum ada, rasa cinta saya belum tinggi untuk Islam. ASTAGHFIRULLAH. Hingga akhirnya ketika pagi hari, saya masih sempat menonton ‘APA KABAR PAGI’ di TV One. Kebetulan ketika itu pembahasan utamanya adalah Serangan Israel Terhadap Palestina. Saya coba meresapi dan menggali informasi, namun belum cukup juga. Ya Allah, ternyata penyakit hati saya sudah sebegitu parahnya sehingga sulit menggali empati itu.

Dan dengan perasaan yang masih datar saya pun berangkat menuju Bunderan HI. Sesampainya disana massa yang datang ke Bunderan HI sudah cukup banyak. Beruntung ketika saya keluar dari busway dan berjalan sebentar, saya langsung bertemu dengan salah seorang teman, Budi Kurniawan (Ketum LDK Syahid 07-08) sehingga saya bisa dengan mudah mencari teman-teman UIN yang telah bergabung dengan massa. Namun sayang, ternyata tidak semudah itu mencari teman di antara orang banyak. Akhirnya kami berpisah dan saya pun bertemu dengan Ahmad Tabrizi (Staff Humas KAMMI UIN), sehingga dengan bantuannya saya bisa bertemu dengan segelintir teman-teman akhwat dari UIN. Cukup lama saya berada dalam barisan massa, namun belum tergugah juga rasa empati saya. hingga akhirnya ketika sholat ghaib dilangsungkan dan ketika Rico Candra (ketum KAMMI UIN 08-09) yang menemani imam sholat ghaib diatas mobil TV One mulai merobek bendera Israel sambil meneriakkan takbir, air mata saya mulai luruh. Namun sayangnya tak banyak. Allahu Akbar! Dimana air mata itu?? saya masih menunggu. Dan bersyukur empati saya masih berfungsi. Ketika pembacaan do’a penutup oleh Asep Saepul Amri (Ketum LDK Syahid 08-09) dilangsungkan diatas mobil sound, hati saya kembali bergetar. Saya mencoba khusyuk mendengar do’a dan sedikit prakata dari Asep soal Palestina. Dan akhirnya, air mata saya mulai mengalir lagi meski tidak banyak.

Saudara-saudaraku di Palestina, MAAF. Maafkan saya telah menjadi saudara yang kurang baik kepada antum semua. Maafkan saya yang jarang memikirkan antum sekalian. Entah kenapa saya begini. Padahal tanah itu adalah tanah suci dimana ketika ditaklukkan pertama kali, Umar Al-Faruq memasuki dengan sangat tawadhu dan sangat toleran kepada rakyatnya yang multi agama. Dan dimana ketika direbut kembali oleh Salahudin Al-Ayyubi, ia pun berlaku tawadhu. Dengan segala penuh hormat pada tanah suci dan tidak ingin mengotorinya dengan darah rakyat sipil yang tak berdosa. Mungkinkah saya terlalu terlena dengan ZONA NYAMAN sehingga lupa dengan penderitaan antum. Ah, tidak. Tidak usah dengan hanya tangisan. Namun empati yang akan saya berikan. Namun do’a tulus yang akan saya panjatkan untuk antum disana, wahai para pejuang sejati yang rindu syahid. Allahu Akbar!! Long Life Islam!! No compromise for everything!!

Ini Dia TEGAL –Perjalanan dan Pengamatan— (Part 3: Pengajian Pinggir Jalan)

Setelah menyaksikan akad nikah yang hikmat dan mengharukan dan membantu ala kadarnya, saya sempat berjalan-jalan sebentar menuju Masjid Agung Slawi yang belum jadi dan mampir ke Tugu Perjuangan –entah apa namanya dan juga background sejarahnya, dan saya hanya mendapat jawaban bahwa di tugu tsb ialah tempat perang melawan Jepang— yang ada di seberang Masjid Agung juga calon Bundaran Slawi yang belum jadi.
Kemudian keesokan harinya –Minggu (28/12)— saya bersama dua teman kembali ke Jakarta pagi-pagi sekali. Kami diantar menuju stasiun Tegal. Dan ketika melewati Jl. Raya Pagongan di Minggu pagi itu, saya diberitahu Ariyanti (teman saya yang baru saja jadi pengantin baru) bahwa di jalan ini ada pengajian unik. Saya bertanya, pengajian seperti apa itu? dia menjelaskan bahwa pengajian itu tidak dilaksanakan di dalam mesjid, rumah atau gedung seperti lazimnya, namun DI PINGGIR-PINGGIR JALAN. Saya bertanya lagi, lalu leader alias ustadznya ada dimana? Ketika itu saya membayangkan ini pasti seperti sholat ied yang juga biasa dilakukan di jalan besar. Dan berarti kita tidak bisa melalu jalan ini karena jalanan dipenuhi orang, pikir saya ketika itu.ternyata SAYA SALAH. Pengajian ini memang benar-benar dilangsungkan di pinggir-pinggir jalan. Jadi ustadz atau pemimpin pengajian ini berada di salah satu teras warung dengan banner yang bertuliskan MAJELIS TA’LIM “AL-HIKMAH” dan sound system-nya. Sang ustadz memulai bacaan ayat Al-qur’an memakai speaker. Sedangkan para jamaah berbondong-bondong berdatangan dari segala penjuru kota dengan menggunakan berbagai kendaraan atau sekedar jalan kaki. Mereka mulai mengambil tempat masing-masing (di setiap emperan toko atau ruko bahkan rumah yang ada di Jl. Raya Pengagongan itu). mereka duduk hanya dengan beralaskan tikar dan Koran dan lalu mulai ikut mengaji. Hmm, unik. Kata Ariyanti, ini hanya terjadi setiap hari Minggu pagi. Wah, serunya ada pengajian seperti itu. tanpa disadari ini menjadi salah satu bentuk syiar Islam.

Ini Dia TEGAL –Perjalanan dan Pengamatan— (Part 2: Eksplorasi Tenaga Anak)


Ketika kereta kelas ekonomi TEGAL ARUM jurusan Kota—Tegal transit sebentar di Cikampek, saya mengamati sekelompok anak laki-laki kecil yang tengah berjongkok di peron luar stasiun. Mereka menanti kedatangan kereta yang akan transit di stasiun itu, seperti kereta ini. Penantian mereka terhadap setiap kereta yang datang bukan tanpa maksud. Ya, mereka menanti untuk mengambil kesempatan emas meminta sekedar uang receh kepada para penumpang kereta dari luar jendela. Dengan memelas penuh mereka memohon untuk dikasihani dan diberi uang receh barang seribu. Saya tidak memberinya, melainkan mengambil gambarnya. Sampai teman saya berkomentar,”Urusin tuh Bekasi, masih banyak orang yang harus diurus. Jangan moto-moto aja.” Saya tertawa. Benar komentarnya. Saya berpikir, ternyata selama ini saya telah salah jalan juga mengambil foto rakyat kecil yang malang tanpa banyak membantunya. Tapi saya berpikir ulang, bahwa saya tidak hanya ingin menjadi sekedar pemberi receh tanpa mampu mengubah ini semua menjadi lebih baik. SAYA INGIN SEKALI MENIADAKAN HAL INI. Karena menurut saya recehan yang dinanti anak-anak itu hanya akan menambah ketergantungan mereka. Mereka tidak boleh memiliki paradigma begitu. Memang sih bukan mereka, namun orang tua yang memberi isu panas kepada mereka. Dan tanpa sadar orang tua telah mengeksplor tenaga anaknya sendiri kepada hal-hal yang berakibat tidak baik kepada anak itu sendiri. Anak dipekerjakan, padahal bukan itu hak mereka. Aduhh, bagaimana ini ya?? Ayo Dila, pikir-pikir-pikir!!! Jangan Cuma bisa nuntut, tapi berikan apa yang dituntut.

Sunday, December 28, 2008

Ini Dia TEGAL –Perjalanan dan Pengamatan— (Part 1: Di Kereta)

Tanggal 27 Desember 2008 kemarin, salah satu teman baik saya menikah. Karena asli Tegal, jadi saya pun harus menghadiri akad dan perayaan nikahnya di daerah asalnya itu. inilah kali pertama saya bepergian jauh dengan menggunakan kereta tanpa orang tua. Kereta yang saya dan teman-teman tumpangi adalah kereta dengan kelas ekonomi. Terbayang sekali bagaimana sesak, panas, dan kotornya berada di dalam kereta tersebut. Padahal kapasitas dalam satu gerbong hanya untuk 106 orang, namun yang ada di dalamnya LEBIH dari itu! saya jadi merenung, betapa kita harus prihatin dan paham dengan keadaan bangsa kita sebenarnya. Coba lihat dari dekat. Beginilah rakyat kecil berbuat. Beginilah mereka menjalani hidup. Selama ini kita hanya tau gambaran-gambaran tentang keadaan masyarakat DI ATAS KERTAS. Sehingga solusi yang ditawarkan dan dilaksanakan kurang maksimal dan tidak menyeluruh. Saya jadi punya ide, BAGAIMANA KALAU DIADAKAN SYARAT BAGI PARA CALEG UNTUK MENUMPANGI KERETA EKONOMI SEHARI SEMALAM, PURA2 JADI PENGAMEN DIATAS BUS, PURA2 JADI PEMULUNG, MENJADI PEDAGANG ASONGAN (khususnya di kereta ekonomi, yang WUIH, panasnya luar biasa. Sempitnya juga luar biasa. Duduknya harus berbagi. Di koridor yg sempit pun dijejali penumpang yg berdiri krn tdk dpt duduk. Herannya para pedagang itu SURVIVE betul, bolak-balik menjajakan dagangannya di sepanjang koridor sempit yang jika kita amati tidak akan mungkin berjalan melewatinya), DLL. Hal ini dimaksudkan agar para CALEG tsb bisa merasakan langsung bagaimana penduduk kecil itu menjalani hidup mereka. Sehingga ada perasaan empati yang timbul dan bisa dengan maksimal memperjuangkan aspirasi rakyat banyak. Jadi, GAK HANYA SEKEDAR NGOMONG, TAPI BUKTI BENERAN BRO (mentahnya juga boleh.. halah apaan sih. He-he…)!

Saturday, December 20, 2008

Mengingat sejarah penaklukkan Baitul Maqdis di zaman Khalifah Umar bin Khatab Al-Faruq


Desember ini merupakan bulan hari jadi intifadha yang ke-21, sekaligus milad HAMAS yang terjadi pada bulan dan tahun yang sama. Ketika itu rakyat Palestina sudah sekian tahun berada dibawah tekanan penjajah Israel sehingga merasa perlu dan bahkan harus memberontak, membebaskan negeri suci itu dari kezhaliman yang belum berakhir.

Ah, memang berbeda cara Islam menaklukkan negeri dengan non-Islam. Kebanyakan dan bahkan semua penakluk non-Islam menaklukkan negeri jajahan dengan cara yang tidak manusiawi. Segala sesuatu yang ada dalam negeri taklukkannya dirusak. Penduduknya dibinasakan, tidak peduli apakah itu wanita, orang tua dan anak-anak. Hal ini terjadi dimanapun dan di setiap pekan waktu sejarah (maksudnya dari dulu sampai sekarang gituuuuhh).

Sedangkan Islam berbeda. Rasulullah mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memelihara tawanan dengan baik. Bahkan makanan yang diberikan tawanan pun lebih baik daripada yang menawan. Rasulullah mengajarkan cara perang dan penklukkan suatu Negara dengan cara yang baik pula. Tidak diperbolehkan untuk membuhuh orang tua, wanita dan anak-anak. Juga tidak diperbolehkan menghancurkan rumah-rumah ibadat di suatu negeri. Maka tidak heran, jika seperti itulah cara ummat Islam berperang, santun dan damai. Seperti sejarah yang ingin saya ceritakan ulang dibawah ini. Mungkin teman-teman sudah mengetahui, namun alangkah baiknya jika bersama kita ingat bagaimana Baitul Maqdis, kota suci di Palestina, ditaklukkan dibawah panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah itu.

---diambil dari buku “Toleransi Kaum Muslimin dan Sikap Musuh-musuhnya” karya Yunus Ali Al-Muhdhar. Hal 47-49. Terbitan PT Bungkul Indah Surabaya. 1994. Harga Rp.3000, beli di toko Walisongo Kwitang zaman zebot---

….
Ketika kaum Muslimin mengadakan pengepungan terhadap kota Baitul Maqdis selama 4 bulan, penduduk kota itu rela untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dan mereka bersedia mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dan mereka bersedia menyerahkan kota suci itu dengan syarat kaum Muslimin harus mendatangkan Khalifah Umar bin Al-Khatab untuk menerima kota suci itu. Penguasa Nasrani kota itu adalah bernama pnedeta Kopernikus. Beliau mau menyerahkan kota suci itu dengan syarat Umar sendiri yang harus hadir untuk menerima penyerahannya. Untuk memenuhi kehendak rakyat Baitul Maqdis itu panglima yang ketika itu Abu Ubaidah Ibnul Jarrah menulis surat kepada Umar dan meminta kehadirannya untuk menerima penyerahan kota itu.

Permintaan itu diterima oleh Umar dengan senang hati. Kemudian beliau dengan ditemani seorang budaknya datang dengan mengendarai seekor unta bergantian dengan budaknya. Kehadiran Umar secara sederhana itu membuat takjub hati rakyat Baitul Maqdis. Mereka hampir tidak percaya ketika melihat pribadi Umar menuntun unta yang ditunggangi oleh budaknya memasuki kta suci itu.mereka kira bahwa dalam kebesaran Umar itu akan ditandai pula dengan kebesaran dalam pengawalannya dan sebagainya.

Umar memasuki kota itu dengan penuh tawadhu kepada Allah yang telah membukakan kota suci itu kepada kaum Muslimin dengan secara damai.

Beliau masuk kota suci itu dengan didampingi oleh pendeta Kopernikus. Dalam kesempatan itu beliau masuk Masjidil Aqsha dan bershalat di dalamnya. Setelah itu beliau mengadakan peninjauan ke berbagai daerah kota suci itu dan menyuruh kepada semua gubernurnya untuk berlaku baik terhadap penduduk kota suci itu karena mereka berhak untuk mendapatkan penghormatan lebih dari penduduk kota lainnya. Dan dalam kesempatan itu pula beliau mengumumkan pemberian perlindungan dan keamanan bagi jiwa mereka, harta benda, maupun rumah peribadatan penduduk. Dan melarang kaum Muslimin utnuk mendirikan masjid diatas tempat peribadatan kaum Nasrani (dilarang merusak gereja untuk mendirikan diatasnya masjid Islam).* Lihat: Hadharatul Arab, hal 135

Dalam kitab Futuhul Buldan juga disebutkan kisah perjalanan Umar ke Baitul Maqdis, dimana Umar melewati desa Jabiah dekat kota Damaskus, beliau meliha sekelompok orang yang menderita sakit kusta. Mereka dipencilkan oleh penduduk setempat di atas suatu bukit, karena mereka amat berbahay sekali bagi kesehatan penduduk kota itu. Keadaan mereka amat sengsara sekali,s ehingga hal ini menggerakkan hati Umar untuk mengumpulkan semua gubernurnya di kota Damaskus. Setelah mereka semuanya hadir di hadapan Umar bin Al Khatab, beliau berkata: Demi Allah aku tak akan meninggalkan kota ini sebelum kamu sekalian mengirim kepada mereka makanan, dan mencatat nama mereka dalam catatan orang yang patut dibantu setiap bulannya. ** Kitab Futuhl Buldan, hal. 166.

Dalam hal ini perlu kita tanyakan dalam diri kita sendiri, apakah sebabnya pendeta Kopernikus ketika akan menyerahkan kota suci Baitul Maqdis mensyaratkan kehadiran Umar sendiri ke kota suci itu, padahal sepanjang sejarah untuk menyerahkan suatu kota sukup ditangani oleh Panglima perang yang dapat menaklukkan kota-kota itu.
Disini tampak sekai kecerdikan pendeta Kopernikus yang agung itu. Diamana sebenarnya beliau sangat butuh sekali akan perlindungan bagi daerah kekuasaannya. Beliau telah mendengarkan keadilan dan ketoleransian Umar terhadap rakyat daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Karena itu beliau menggunakan kecerdikannya untuk mengundang pribadi Umar sendiri untuk menangani penyerahan kota suci tersebut dengan harapan agar Umar sendiri yang menjamin keamanan dan perlindungan bagi kota suci itu. Harapan pendeta tersebut berhasil dan penduduk kota suci itu disamping diberikan perlindungan sebagaimana wajarnya, mereka juga diberikan keistimewaan-keistimewaan khusus, karena mereka termasuk penduduk kota suci.

Wednesday, December 17, 2008

Berbagi Kisah Cinta


Sebelumnya, saya ingin memberi salam hormat dan kagum kepada Pak Ridho, guru Fisika SMA saya, di SMA Al-Masthuriyah Sukabumi. Karena pada saat inilah, kisahnya akan saya bagi kepada teman-teman sekalian. Sebuah kisah cinta pribadinya yang cukup menarik untuk direnungi.

Pak Ridho memang guru Fisika yang unik di kelas. Tak hanya memberi pelajaran mengenai teori relativitas atau teman-teman Einstein, tapi juga sering sekali memberi pelajaran hidup kepada kami. Pelajaran itu sering kali diambil dari kisah hidupnya atau dari current news yang ada di sekitar kita.

Btw, langsung mulai kisahnya ya…

Ketika itu pak Ridho masih muda. Ia merupakan pemuda yang cukup pintar dan cerdas sehingga sudah mengajar di SMA sejak mahasiswa. Ketika itu ia sempat memiliki hubungan dengan seorang siswi-nya, namun sayang harus kandas karena siswi tersebut pindah sekolah tanpa kabar. Sehingga pak Ridho sempat merasakan patah hati ketika itu.

Singkat cerita, beberapa waktu kemudian, ia bertemu dengan seorang wanita di masjid. Ketika itu pak Ridho sudah merasa ada yang bergejolak dalam hatinya, sehingga ia menghampiri si-gadis dan bertanya, apakah gadis tsb ingin diantar pulang ke rumahnya? Si-gadis hanya diam dan terus berlalu pulang ke rumahnya. Namun pak Ridho tidak tinggal diam. Ia membuntuti si-gadis hingga depan rumahnya. Jika si-gadis berjalan pelan, maka ia pun berjalan pelan. Dan jika si-gadis berjalan cepat, maka ia pun berjalan cepat. Pokoknya, meski ia mengikuti si-gadis dari belakang, ia selalu menjaga jarak aman, kira-kira 1 meter.

Lucunya, hal ini berlangsung tidak hanya sekali, namun beberapa kali. Dan si-gadis hanya diam. Hingga pada suatu hari….. pak Ridho melakukan hal yang sama pada si-gadis, yakni mengantarnya pulang. Namun ketika itu ada hal yang tak biasa yg dirasakan pak Ridho. Ternyata beberapa menit setelah si-gadis masuk rumah, ayah si-gadis pun keluar rumah dan menghampiri pak Ridho. Ia meminta pak Ridho masuk rumah dan duduk bersamanya di ruang tamu. Pak Ridho pun menurutinya.

Dan di ruang tamu, ayah si-gadis bertanya soal kenapa ia mengikuti anaknya. Pak Ridho menjawab bahwa ia menyukai anak gadisnya. [intermezzo; dulu pak Ridho ialah mak comblang yang cukup jago dan terkenal. Ia dikenal telah berhasil me-mak comblangi teman-temannya, bahkan ada yang berhasil awet hingga berkeluarga. Lucunya, meski ia jago soal menjodohkan orang, ia agak sulit menjodohi dirinya sendiri]. Lalu ayah si-gadis langsung meminta pak Ridho untuk menikahinya segera!! Pak Ridho kaget “ditembak” seperti itu, lalu mengadakan nego. Ayah si-gadis tidak terima kompensasi apapun kecuali pak Ridho menikahi anaknya. Alasan sang ayah ialah, PACARAN ITU HARAM!!! Ketika itu pun pak Ridho berpikir, bahwa memang benar jika hubungan romantis apapun antara lawan jenis sebelum menikah ialah tidak dibenarkan, termasuk TUNANGAN. Maka, akhirnya pak Ridho pun menerima tawaran tersebut yakni menikahi si-gadis pujaan hatinya. Meski mahar yang diberikan tidak seberapa. Dan itu pun ternyata tidak menjadi soal bagi keluarga si-gadis, karena yang penting si-gadis dinikahi dengan sah dan halal.

Setelah menikah, karena pak Ridho dan istrinya masih sama-sama menempuh jenjang pendidikan (pak ridho masih kuliah dan istri masih menjadi santriwati di sebuah pesantren), akhirnya mereka berpisah sementara. Pak ridho kembali ke Depok untuk menempuh S1-nya, dan sang istri kembali ke asramanya. Beberapa kali waktu mereka sering bertemu dengan rutin. Pak Ridho datang ke asrama sang istri dengan membawa buku nikah sebagai bukti kepada ibu asramanya bahwa ia sudah menikah dengan sah dengan sang istri dan bisa mengajaknya keluar untuk jalan-jalan. Dan setelah dua tahun menikah, mereka pun akhirnya memiliki anak pertama pada tahun 1988.

Hmm, pak Ridho… dimana ya sekarang? Teman-teman, begitulah kisah pak Ridho. Sebenarnya banyak sekali yang ia kisahkan. Dan ini hanyalah salah satu kisah yg diceritakan olehnya di depan kelas. Kurang lebih seperti itu. Kalau ada kesalahan dlm kisahnya, saya mohon maaf.

Monday, December 15, 2008

Mom, Thank You!


Sabtu pagi itu saya pulang dari kampus. Berjalan penuh lunglai, mengingat sidang untuk skripsi saya akan ditunda lagi hingga February 2009 nanti. Lemas dan sedih sekali rasanya. Impian untuk diwisuda bulan January hilang sudah. Ah Rabb, saya bingung sekali harus bersikap apa kemarin. Marahkah? Menangiskah? Tertawakah? Atau bahkan bersyukur? Dan akhirnya saya memilih menangisi ketidakberdayaan saya.

Saya masuk rumah dengan menemukan ayah saya yang tengah menerima tamu. Saya menyapa dan mencium tangan ayah dan tamu tersebut. Lalu melihat ada ibu di kamarnya, lalu saya mencium tangannya pula sambil bilang kepadanya bahwa saya tidak akan bisa sidang January. Lalu saya menangis dan menuju ke kamar dan melempar tubuh ke kasur. Dan ibu saya menghampiri sambil bertanya, “Kenapa? Salah skripsinya?”

Saya menggeleng, “Dosennya belum mau baca skripsinya.”
“Yaudah, sabar aja.” Akhirnya ibu saya menjawab lagi.
Oh ibu, saya pikir saya akan mendengar jawaban memaki atau mengutuk kelalaian saya atau dosen yang begitu malas membaca tugas akhir saya itu. Tidak ada intimidasi apapun dari anggota keluarga termasuk ayah dan ibu saya gara-gara skripsi saya yang belum selesai juga. Sungguh begitu percaya mereka terhadap semua yang saya usahakan selama ini. Saya bersyukur akhirnya. Memiliki orang tua yang begitu tegar dan paham akan urgensi syukur dan ujian dari Tuhan.

Membicarakan kebaikan orang tua khususnya ibu memang tiada akan pernah habis. Ibu bersabar dengan ujian ketika kelelahan mengandung kita selama kurang lebih sembilan bulan. Lalu bersabar mengasuh kita hingga dewasa seperti saat sekarang ini. Dan bahkan sampai sekarang pun saya masih ketergantungan dengan ibu. Kebaikannya membuat saya begitu mencintainya, meski terkadang dan bahkan amat sering menyusahkan dan membuat sakit hati dirinya. Ya Allah…

Ya Allah… muliakanlah dirinya, ibuku, ibu terbaik di dunia-akhirat
Muliakanlah usahanya, limpahkanlah pahala untuknya
Limpahkanlah ia rasa syukur yang lebih lagi atas karunia-Mu terhadapnya
Jadikanlah ia menjadi ibu yang amat baik
Dan jadikanlah kami, anak-anaknya, sebagai anak yang sholeh-sholehah
Yang berguna dan menjadi kebanggaannya dan selalu menjadi penambah amalnya ketika ia meninggal nanti
Jadikanlah ia istiqomah di jalan-Mu
Dan jadikanlah akhir hidupnya khusnul khotimah
Amin!!

Rabbighfirlii waaliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayani shoghiro… amin!!

Saturday, December 6, 2008

Kaki-kaki Yang Berdiri Saat PEMIRA


Akhirnya saya datang juga ke kampus ketika pemilihan eksekutif berlangsung pada Kamis (4/12) kemarin. Setelah sebelumnya tidak datang selama hampir sepekan. Sehingga ketika itu pun saya tidak merasakan suasana ketegangan kampus menjelang PEMIRA seperti Debat capres BEMU dan panas-dinginnya situasi koalisi antar partai kampus.Ketika pencoblosan kemarin, kampus cukup ramai, meski nuansa kampus –khususnya sospol- tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Saya punya analisa bahwa mahasiswa pada tahun ini tidak memiliki antusias yang sama terhadap politik kampus. Sehingga animo (dilihat dari nuansa kampanye, berkurangnya peserta PEMIRA, dll) mahasiswa dirasakan menurun.Yang namanya perpolitikan pasti diselimuti ketegangan-ketegangan yang menimbulkan emosi dan kelakuan-kelakuan yang bersifat provokasi.


Seperti itu juga yang terjadi pada politik kampus di UIN Jakarta. Banyak artikel-artikel sesat dan menyesatkan yang bertebaran di tataran mahasiswa khususnya yang berstatus pemilih sejati. Seperti yang saya ungkapkan tadi, artikel-artikel tersebut berisi penudingan dan isu-isu yang sengaja diangkat dan dihubung-hubungkan. Dan yang menjadi objek penderita penudingan isu-isu tersebut tidak hanya satu partai dan satu capres saja, namun hampir seluruh pihak peserta PEMIRA. Dan info, saya berhasil mengumpulkan 4 selebaran (ada yang bilang sebenarnya lebih dari itu) yang berbeda-beda.Saya sedikit tertawa, ini salah satu hal paling lucu yang saya lihat dan rasakan.


Saya jadi berpikir tentang realita dan fakta dari apa-apa yang pernah saya baca. Salah satunya buku karya Dr. Ahmad Naufal yang berjudul PERANG ISU DALAM ISLAM terbitan Pustaka Mantiq. Dalam buku itu dijabarkan perihal mengenai isu, mulai dari definisi hingga faktor-faktor penyebab terjadinya isu. Saya menjadi mencoba menganalisa kejadian yang ada di kampus UIN ini sesuai dengan teori yang ada dalam buku tsb. Dan kesimpulannya, tersebarnya dan terjadinya isu-isu ini sudah memenuhi faktor-faktor yang ada, yakni ada si-penyebar alias provokator dan ada pihak yang siap menerima dan menyebarkan (kebanyakan pihak ini ialah pihak yang menjadi alat). Maka dari itu, saya hanya mencoba bersikap menjadi ‘viewer’ alias pemantau. It’s not only waiting and seeing, but also analyzing.Dan terlepas dari itu semua, saya hanya berharap PEMIRA di kampus peradaban ini berlangsung lancar dan tertib. Meski ada simpang siur tidak akan berumur panjang sistem Student Government di kampus ini (kalo emang benar begitu selamat datang deh senat! ^_^).

Monday, December 1, 2008

kepada wartawan yg telah mewawancarai dan mengambil gambar saya: maaf dan terima kasih

Yang namanya manusia memang punya sisi norak dan rasa pamer. Beberapa waktu lalu dengan cukup lama saya sangat menginginkan diwawancara oleh wartawan manapun dan dari media manapun. Sebab saya berpikir bahwa saya cukup sering meminta orang lain untuk saya wawancarai, sedang saya tidak pernah dipinta seperti itu kecuali wawancara masuk sekolah, perguruan tinggi, atau tempat magang. Dibawah ini ialah foto para wartawan yang telah mewawancara dan mencapture foto saya. Dan sebelumnya juga sesudahnya saya ucapkan peromohonan maaf kepada mereka, karena --mungkin saking gugup dan emoh memberikan identitas--, dasar norak sebelum terkenal.


Wartawan LPM Institute ini berhasil mewawancarai saya ketika nuansa kampanye berlangsung di kampus. Sayangnya ketika itu saya sedang mengalami dilemma yang berkecukupan, sehingga karena itu tanpa pikir panjang saya memberikan identitas palsu. maaf ya...

Wartawan bule asal Australia ini --duh lupa namanya-- mewawancarai saya dan teman saya ketika RUU APP disahkan pada Oktober kemarin. Dia bertanya dalam bahasa Inggris, dan jelas teman-teman yang ada dalam barisan aksi mencari kami --yang mereka anggap paling jago-- untuk bersedia diwawancarai. Yang berkesan, kami menjawab dengan bule juga, alias BULEPOTAN. dasar anak sastra Inggris yang ga becus.

Wartawan ini, entah dari media mana, tidak terlihat mewawancarai mahasiswa manapun yang ikut dalam aksi pengesahan RUU APP Oktober kemarin. Dia lebih mengandalkan kepada selebaran-selebaran pernyataan sikap yang dibuat dan dibagikan dari beberapa elemen yang mendukung sahnya UU APP. Dan juga ia mengandalkan keahliannya dalam mengcapture gambar dengan kameranya yang besar. Akhirnya, saya iseng mengcapture balik.