Wednesday, April 1, 2009

Cerita dari Balik Posko Sekitar Situ Gintung


Akhirnya, setelah empat hari bencana Situ Gintung saya bertolak juga menuju Ciputat dan mampir ke salah satu Posko di lokasi kejadian. Banyak hal yang saya amati disana. Mulai dari crowded-nya ‘wisatawan bencana’, sibuknya para penjaga posko baik itu dari mahasiswa, kampus, lembaga pemerintah & swasta, LSM, dan partai, para warga yang mampir ke posko dan mengaku sebagai korban agar dapat bantuan, wartawan dari berbagai media yang terkadang saya pikir cukup memanfaatkan korban sebagai komoditi bagi medianya, dsb. Baiklah, saya akan mulai ceritakan apa saja yang terekam ke otak saya ketika kunjungan di hari Selasa (31/3) kemarin.

Senin sore dengan menggunakan bus AC dari terminal Senen saya bertolak menuju kota Ciputat, kota dimana kampus saya berada pun sekaligus tragedi Situ Gintung yang dekat. Sejak naik bus hati saya sudah berdebar tidak karuan, sebab tidak sabar melihat keadaan Ciputat yang sudah lama tidak saya kunjungi juga ingin tahu bagaimana situasi kota tersebut sebenarnya pasca musibah yang terjadi di Situ Gintung. Apakah benar ia terisolasi? Atau bagaimana?

Suasana hati semakin tak karuan ketika bus sampai di area Lebak Bulus lalu melewati area depan perumahan Cireundeu Permai, salah satu lokasi yang terkena lumpur Situ Gintung. Situasi jalanan memang macet disana, tapi saya pikir macet seperti ini memang sudah menjadi hal yang wajar sehari-hari. Jadi saya cukup lega sambil berkata dalam hati, “Ooh, engga terlalu ribet suasana aslinya. Kegiatan sehari-hari masih berjalan normal dan santai. Masih ada yang mampir di tukang VCD bajakan, masih banyak angkot nge-tem, dsb.” Dan bus terus berjalan. Namun mata saya dan penumpang lain tak berpaling dari jendela sebelah kiri demi melihat suasana posko yang ada di Situ Gintung. Ya, banyak terdapat posko disana, terutama ketika saya melewati depan kampus STIE Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Bahkan sebenarnya posko pun sudah ada di area Pasar Jumat. Saya kembali bernapas lega dan mengulas senyum, ternyata kota ini tidak terisolasi dan kemacetan serta crowded yang ada memang sudah jadi hal yang biasa, jadi tidak perlu dikagetkan. Ketika itu hari sudah malam dan saya memutuskan untuk menuju ke kosan adik saya dulu sebelum keesokan harinya bergabung bersama teman-teman di posko KAMMI.

Pagi hari bertandang ke bumi, akhirnya saat yang ditunggu tiba. Saya bersama seorang adik kelas menuju posko sekitar jam 7 pagi. Sampai disana posko masih sepi tapi semangat tetap tidak luntur untuk hari ini: siap membantu! Posko KAMMI tampak sedikit sesak dengan barang logistic yang penuh menumpuk. Namun ketika saya disana, ternyata ada peraturan baru, yakni tidak boleh asal memberi bantuan ketika orang-orang berkunjung ke posko. Sebab ternyata cukup banyak warga yang memanfaatkan kejadian ini dengan berpura-pura menjadi korban dan mengambil barang sesukanya dengan tidak hanya sekali, namun lebih dari itu! menyedihkan bangsa kita ini. Belum lagi pemulung dan pengemis yang datang dan memelas meminta barang *aduh, bukannya kita ga mau kasih, namun ini lebih diproritaskan untuk korban*. Maka ketika para warga bertandang ke posko dan meminta berbagai macam kebutuhan, kami menge-check dulu data warga tersebut. Apakah tercantum di data korban yang kami pegang atau tidak. Memang sedikit repot birokrasinya, namun ini demi kebaikan bersama.

Bukan hanya para warga yang mengaku sebagai korban yang saya amati, namun juga ada para ‘wisatawan bencana’ alias para warga yang datang dengan tujuan hanya ingin melihat-lihat lokasi kejadian. Kebanyakan para warga ini merupakan ibu-ibu dengan paying dan kaca mata hitamnya. Waduh, Situ Gintung, meskipun udah kena musibah tetap jadi tempat favorit untuk berwisata ternyata. Hmm…

Juga para wartawan dan relawan yang kerap mondar-mandir melewati posko KAMMI. Mereka memang cukup sibuk pada momen ini. Dan untuk wartawan yang menurut saya terkadang memanfaat korban untuk diwawancara sebagai komoditi bagi medianya. Hmm, kasian korban kalau memang benar begini.

Ataupun para parpol yang semakin melebarkan sayapnya dengan entah apa maksudnya. Politis deh! Dan para tentara dan polisi yang selalu siap siaga turun ke lapangan. Mereka memang sangat dibutuhkan. Juga supir-supir mobil truk-ambulan yang siap membawa barang logistic atau korban meninggal ke tempat tujuan. Ya beginilah, sungguh banyak pengamatan.


Musibah Situ Gintung *terlepas dari permasalahan siapa yang salah soal IMB dan tanggul jebol*, cukup mengundang perhatian banyak pihak. Dengan sigap dan tangkas banyak orang yang siap membantu. Mungkin karena letaknya di kota, jadi bantuan begitu gampang mengalir. Namun entah sampai kapan. Karena saya pikir, korban tidak hanya butuh bantuan yang bersifat jangka pendek, namun juga jangka panjang. Seperti pembangunan kembali rumah mereka dan masa depan mereka. Bagaimana pendidikan anak-anak mereka selanjutnya juga pekerjaan yang akan melangsungkan kehidupan mereka di masa depan.

No comments: